Keadaan
lapar melatih dan memelihara kepekaan kepada orang yang selalu menanggung lapar
dan penderitaan akibat kesulitan hidup. Nabi Yusuf sewaktu menjadi bendahara
kerajaan di Mesir, ditanya mengapa ia tidak pernah mengenyangkan diri dengan
makanan. Beliau menjawab: “Aku takut jika aku kenyang aku lupa kepada orang
yang lapar.”
Dikhabarkan,
Hatim Al-Thai mempunyai seorang ayah yang banyak harta. Ia menyuruh Hatim
supaya tidak banyak memberi, tetapi Hatim malah tidak berhenti memberi.
Seseorang menyarankan kepada ayah Hatim: “Jika tuan ingin Hatim berhenti, tuan
harus mengurungnya di dalam rumah selama beberapa hari. Selepas itu, dia tidak
akan memberi lagi.”
Ayah
Hatim pun melaksanakan nasihat itu mengurung Hatim di dalam rumah. Setelah sebulan dikurung, barulah Hatim dilepaskan.
Si
ayah yakin bahawa, setelah dikurung, Hatim tidak akan mengulangi kebiasannya
lagi. Dia memberi Hatim dua ratus unta. Sangkaan si ayah tidak tepat. Hatim
memanggil penduduk kampung seraya berkata: “Barang siapa mengambil unta di
antara unta-unta ini dengan tali, unta itu menjadi miliknya.”
Lalu,
seorang demi seorang mengambil unta dan habislah semua unta di tangan Hatim. Sepulangnya
ke rumah, Hatim menceritakan hal itu kepada ayahnya. Si ayah bertanya, mengapa dia
masih berbuat seperti itu. Hatim menjawab: “Rasa lapar telah mendorongku untuk
tidak kedekut dengan apa yang aku miliki.”
Abu
Hurairah berkata: “Kamu lihat, aku merintih di antara kuburan Nabi dan mimbar kerana
lapar, sehingga orang mengatakan aku gila. Aku bukan gila, melainkan lapar.”
Pernah
suatu kali, ketika Rasulullah SAW mengimami sembahyang, beberapa sahabat tidak
sanggup berdiri kerana lapar.
Selesai
sembahyang, Rasulullah SAW menoleh ke arah mereka dan bersabda: “Seandainya
kalian tahu apa yang akan kalian dapatkan di sisi Allah (kerana lapar kalian),
nescaya kalian akan menambah (lapar kalian).”
No comments:
Post a Comment